India akan Keluarkan Peringatan Ekspor Sirup Obat Batuk Buatan Marion Biotech

India berencana mengeluarkan peringatan terhadap sirup obat batuk yang diekspor Marion Biotech karena obat itu terkait dengan sejumlah kematian di Uzbeskitan. Menurut seorang pengawas obat-obatan, hasil tes menunjukkan sampel obat batuk itu mengandung zat-zat beracun.

Polisi India pada Jumat (3/3) menangkap tiga karyawan Marion dan sedang mencari dua direktur lainnya setelah tes di laboratorium pemerintah menemukan 22 dari 36 sampel sirup “dipalsukan dan tidak sesuai standar.” 

New Delhi serius menangani kasus itu meski sebelumnya sudah berhasil menepis tuduhan bahwa obat batuk sirup buatan produsen farmasi India, Maiden Pharmaceuticals, menyebabkan kematian anak-anak di Gambia pada tahun lalu. 

Vaibhav Babbar, seorang inspektur yang terlibat dalam penyelidikan Marion, mengatakan kepada Reuters bahwa sampel telah dicampur dengan etilen glikol dan dietilen glikol. Kedua racun itu menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) ditemukan dalam produk yang dijual kedua perusahaan di kedua negara. 

Sebanyak 70 anak meninggal di Gambia dan 19 di Uzbekistan. 

WHO pada Januari mengatakan lebih dari 300 anak, sebagian besar di bawah usia 5 tahun, di Gambia, Indonesia, dan Uzbekistan meninggal pada tahun lalu karena cedera ginjal akut yang terkait dengan obat-obatan yang terkontaminasi. 

Peringatan pemerintah India itu berupa imbauan untuk tidak lagi memberi produk tersebut, meskipun tidak ada sanksi hukum. 

Babbar mengatakan obat-obatan itu juga telah diekspor ke Kyrgyzstan dan Kamboja. [ah/ft] 

India berencana mengeluarkan peringatan terhadap sirup obat batuk yang diekspor Marion Biotech karena obat itu terkait dengan sejumlah kematian di Uzbeskitan. Menurut seorang pengawas obat-obatan, hasil tes menunjukkan sampel obat batuk itu mengandung zat-zat beracun.

Polisi India pada Jumat (3/3) menangkap tiga karyawan Marion dan sedang mencari dua direktur lainnya setelah tes di laboratorium pemerintah menemukan 22 dari 36 sampel sirup “dipalsukan dan tidak sesuai standar.” 

New Delhi serius menangani kasus itu meski sebelumnya sudah berhasil menepis tuduhan bahwa obat batuk sirup buatan produsen farmasi India, Maiden Pharmaceuticals, menyebabkan kematian anak-anak di Gambia pada tahun lalu. 

Vaibhav Babbar, seorang inspektur yang terlibat dalam penyelidikan Marion, mengatakan kepada Reuters bahwa sampel telah dicampur dengan etilen glikol dan dietilen glikol. Kedua racun itu menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) ditemukan dalam produk yang dijual kedua perusahaan di kedua negara. 

Sebanyak 70 anak meninggal di Gambia dan 19 di Uzbekistan. 

WHO pada Januari mengatakan lebih dari 300 anak, sebagian besar di bawah usia 5 tahun, di Gambia, Indonesia, dan Uzbekistan meninggal pada tahun lalu karena cedera ginjal akut yang terkait dengan obat-obatan yang terkontaminasi. 

Peringatan pemerintah India itu berupa imbauan untuk tidak lagi memberi produk tersebut, meskipun tidak ada sanksi hukum. 

Babbar mengatakan obat-obatan itu juga telah diekspor ke Kyrgyzstan dan Kamboja. [ah/ft] 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Next Post

Emisi Karbon Dioksida Capai Rekor Tertinggi pada 2022

Mon Mar 13 , 2023
Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) pada Kamis (2/3) melaporkan produksi karbon dioksida dunia mencapai rekor pada 2022 dibandingkan volume yang dihasilkan sejak 1900. Peningkatan tersebut tak lepas dari pulihnya transportasi udara pasca pandemi dan lebih banyak kota beralih ke batu bara sebagai sumber listrik berbiaya rendah   IEA mengatakan emisi gas pemanasan iklim yang disebabkan produksi energi tumbuh 0,9% mencapai 36,8 gigaton pada 2022. Padahal menurut Badan Penerbangan dan Antariksa (NASA) Amerika Serikat (AS), massa satu gigaton setara dengan sekitar 10.000 kapal induk bermuatan penuh.  Karbon dioksida dilepaskan ketika bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara, atau gas alam digunakan sebagai bahan bakar mobil dan pesawat, serta untuk konsumsi rumah tangga, dan pabrik. Ketika gas memasuki atmosfer, ia memerangkap panas sehingga mempengaruhi pemanasan iklim.  Peristiwa cuaca ekstrem meningkatkan emisi karbon dioksida pada tahun lalu. Peristiwa tersebut di antaranya bencana kekeringan yang mengurangi debit air yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan gelombang panas. Kedua hal tersebut mendorong meningkatkan kebutuhan energi fosil.  Para ilmuwan iklim sebelumnya telah memperingatkan bahwa pengguna energi di seluruh dunia harus dipangkas untuk mengurangi emisi secara dramatis sebagai upaya memperlambat konsekuensi pemanasan global.  “Setiap pertumbuhan emisi — bahkan 1 persen — adalah sebuah kegagalan,” kata Rob Jackson, seorang profesor ilmu sistem bumi di Universitas Stanford dan ketua Proyek Karbon Global, sebuah kelompok internasional.   IEA melaporkan emisi karbon dioksida dari batu bara tumbuh 1,6 persen pada tahun lalu. Banyak warga, terutama di Asia, beralih dari gas alam ke batu bara untuk menghindari melonjaknya harga gas alam yang diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina.  Data IEA menunjukkan emisi global meningkat hampir setiap tahun sejak 1900 dan telah melaju pesat dari waktu ke waktu. Namun ketika pandemi COVID menghantam dunia pada 2020, emisi menurun menyusul aktivitas perjalanan yang menurun drastis.  Tingkat emisi tahun lalu, meskipun mencapai rekor tertinggi, tetap lebih rendah dari perkiraan para ahli. IEA bilang peningkatan penerapan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan teknologi pemanas air bersama-sama membantu mencegah tambahan 550 megaton emisi karbon dioksida. [ah/ft]