Sejumlah aktivis HAM mendesak Dewan Keamanan PBB pada hari Senin (13/3) untuk merujuk penguasa militer Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan mendesak negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk mendukung gerakan oposisi prodemokrasi.

Para pemimpin dua organisasi HAM perempuan berbicara kepada wartawan menjelang pertemuan tertutup dewan itu yang membahas Myanmar. Para anggota dewan itu mendengarkan penjelasan dari utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Retno hadir dalam kesempatan itu dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN.

May Sabe Phyu, Direktur Jaringan Kesetaraan Gender, sebuah koalisi organisasi yang mempromosikan hak-hak perempuan di Myanmar, menuduh militer Myanmar melakukan “kampanye teror” dan melakukan “tindakan keji” yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia mengatakan Dewan Keamanan harus merujuk tindakan junta itu ke ICC untuk penuntutan.

Militer Myanmar telah lama dituduh melakukan pelanggaran HAM, terutama selama upaya penumpasan pemberontakan secara brutal pada 2017 terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat. ICC sedang mempertimbangkan apakah tindakan keras itu adalah genosida.

Pada 2021, militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih Myanmar, dan kemudian mengambil tindakan keras untuk menekan penentangan publik terhadap pengambilalihan kekuasaan tersebut. Beberapa ahli sekarang menganggap situasi di Myanmar sebagai perang saudara mengingat militer melakukan serangan besar-besaran terhadap perlawanan bersenjata yang meluas.

ASEAN mengadopsi konsensus lima langkah untuk memulihkan perdamaian pada April 2021 yang disetujui oleh Myanmar, tetapi belum diterapkan, yang menyebabkan Myanmar tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan tingkat tinggi ASEAN sejak saat itu.

Dewan Keamanan menyetujui resolusi pertamanya tentang Myanmar pada bulan Desember, menuntut segera diakhirinya kekerasan, mendesak penguasa militernya untuk membebaskan semua tahanan yang “ditahan secara sewenang-wenang” termasuk pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan memulihkan lembaga-lembaga demokrasi. Dewan itu juga menegaskan kembali seruan untuk dialog dan rekonsiliasi dan mendesak semua pihak “untuk menghormati HAM, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.”

Para aktivis menyerukan pemberlakuan embargo senjata, pertemuan utusan khusus PBB kelompok-kelompok prodemokrasi, dan penuntutan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh militer.

Phyu, yang meninggalkan Myanmar setelah pengambilalihan dan sekarang berbasis di Amerika Serikat, meminta Dewan Keamanan untuk menekan negara-negara tetangga Myanmar agar tidak mendukung pemerintah militer, tetapi secara terbuka mendukung kekuatan demokrasi, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang katanya mendapat dukungan dari rakyat Myanmar.

Ia mengkritik utusan PBB Heyzer karena bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tetapi tidak bertemu secara terbuka dengan kelompok prodemokrasi termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang beroperasi secara rahasia  dan menyebut diri sebagai pemerintah sah negara itu.

Naw Hser Hser, Ketua Liga Perempuan Burma, mengatakan para pendukung demokrasi merasa dilupakan oleh komunitas internasional. [ab/uh]

 

Sejumlah aktivis HAM mendesak Dewan Keamanan PBB pada hari Senin (13/3) untuk merujuk penguasa militer Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan mendesak negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk mendukung gerakan oposisi prodemokrasi.

Para pemimpin dua organisasi HAM perempuan berbicara kepada wartawan menjelang pertemuan tertutup dewan itu yang membahas Myanmar. Para anggota dewan itu mendengarkan penjelasan dari utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Retno hadir dalam kesempatan itu dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN.

May Sabe Phyu, Direktur Jaringan Kesetaraan Gender, sebuah koalisi organisasi yang mempromosikan hak-hak perempuan di Myanmar, menuduh militer Myanmar melakukan “kampanye teror” dan melakukan “tindakan keji” yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia mengatakan Dewan Keamanan harus merujuk tindakan junta itu ke ICC untuk penuntutan.

Militer Myanmar telah lama dituduh melakukan pelanggaran HAM, terutama selama upaya penumpasan pemberontakan secara brutal pada 2017 terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat. ICC sedang mempertimbangkan apakah tindakan keras itu adalah genosida.

Pada 2021, militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih Myanmar, dan kemudian mengambil tindakan keras untuk menekan penentangan publik terhadap pengambilalihan kekuasaan tersebut. Beberapa ahli sekarang menganggap situasi di Myanmar sebagai perang saudara mengingat militer melakukan serangan besar-besaran terhadap perlawanan bersenjata yang meluas.

ASEAN mengadopsi konsensus lima langkah untuk memulihkan perdamaian pada April 2021 yang disetujui oleh Myanmar, tetapi belum diterapkan, yang menyebabkan Myanmar tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan tingkat tinggi ASEAN sejak saat itu.

Dewan Keamanan menyetujui resolusi pertamanya tentang Myanmar pada bulan Desember, menuntut segera diakhirinya kekerasan, mendesak penguasa militernya untuk membebaskan semua tahanan yang “ditahan secara sewenang-wenang” termasuk pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan memulihkan lembaga-lembaga demokrasi. Dewan itu juga menegaskan kembali seruan untuk dialog dan rekonsiliasi dan mendesak semua pihak “untuk menghormati HAM, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.”

Para aktivis menyerukan pemberlakuan embargo senjata, pertemuan utusan khusus PBB kelompok-kelompok prodemokrasi, dan penuntutan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh militer.

Phyu, yang meninggalkan Myanmar setelah pengambilalihan dan sekarang berbasis di Amerika Serikat, meminta Dewan Keamanan untuk menekan negara-negara tetangga Myanmar agar tidak mendukung pemerintah militer, tetapi secara terbuka mendukung kekuatan demokrasi, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang katanya mendapat dukungan dari rakyat Myanmar.

Ia mengkritik utusan PBB Heyzer karena bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tetapi tidak bertemu secara terbuka dengan kelompok prodemokrasi termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang beroperasi secara rahasia  dan menyebut diri sebagai pemerintah sah negara itu.

Naw Hser Hser, Ketua Liga Perempuan Burma, mengatakan para pendukung demokrasi merasa dilupakan oleh komunitas internasional. [ab/uh]

 Aktivis Perempuan Desak DK PBB Rujuk Militer Myanmar ke ICC

Sejumlah aktivis HAM mendesak Dewan Keamanan PBB pada hari Senin (13/3) untuk merujuk penguasa militer Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan mendesak negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk mendukung gerakan oposisi prodemokrasi.

Para pemimpin dua organisasi HAM perempuan berbicara kepada wartawan menjelang pertemuan tertutup dewan itu yang membahas Myanmar. Para anggota dewan itu mendengarkan penjelasan dari utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Retno hadir dalam kesempatan itu dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN.

May Sabe Phyu, Direktur Jaringan Kesetaraan Gender, sebuah koalisi organisasi yang mempromosikan hak-hak perempuan di Myanmar, menuduh militer Myanmar melakukan “kampanye teror” dan melakukan “tindakan keji” yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia mengatakan Dewan Keamanan harus merujuk tindakan junta itu ke ICC untuk penuntutan.

Militer Myanmar telah lama dituduh melakukan pelanggaran HAM, terutama selama upaya penumpasan pemberontakan secara brutal pada 2017 terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat. ICC sedang mempertimbangkan apakah tindakan keras itu adalah genosida.

Pada 2021, militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih Myanmar, dan kemudian mengambil tindakan keras untuk menekan penentangan publik terhadap pengambilalihan kekuasaan tersebut. Beberapa ahli sekarang menganggap situasi di Myanmar sebagai perang saudara mengingat militer melakukan serangan besar-besaran terhadap perlawanan bersenjata yang meluas.

ASEAN mengadopsi konsensus lima langkah untuk memulihkan perdamaian pada April 2021 yang disetujui oleh Myanmar, tetapi belum diterapkan, yang menyebabkan Myanmar tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan tingkat tinggi ASEAN sejak saat itu.

Dewan Keamanan menyetujui resolusi pertamanya tentang Myanmar pada bulan Desember, menuntut segera diakhirinya kekerasan, mendesak penguasa militernya untuk membebaskan semua tahanan yang “ditahan secara sewenang-wenang” termasuk pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan memulihkan lembaga-lembaga demokrasi. Dewan itu juga menegaskan kembali seruan untuk dialog dan rekonsiliasi dan mendesak semua pihak “untuk menghormati HAM, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.”

Para aktivis menyerukan pemberlakuan embargo senjata, pertemuan utusan khusus PBB kelompok-kelompok prodemokrasi, dan penuntutan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh militer.

Phyu, yang meninggalkan Myanmar setelah pengambilalihan dan sekarang berbasis di Amerika Serikat, meminta Dewan Keamanan untuk menekan negara-negara tetangga Myanmar agar tidak mendukung pemerintah militer, tetapi secara terbuka mendukung kekuatan demokrasi, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang katanya mendapat dukungan dari rakyat Myanmar.

Ia mengkritik utusan PBB Heyzer karena bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tetapi tidak bertemu secara terbuka dengan kelompok prodemokrasi termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang beroperasi secara rahasia  dan menyebut diri sebagai pemerintah sah negara itu.

Naw Hser Hser, Ketua Liga Perempuan Burma, mengatakan para pendukung demokrasi merasa dilupakan oleh komunitas internasional. [ab/uh]

 

Sejumlah aktivis HAM mendesak Dewan Keamanan PBB pada hari Senin (13/3) untuk merujuk penguasa militer Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan mendesak negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk mendukung gerakan oposisi prodemokrasi.

Para pemimpin dua organisasi HAM perempuan berbicara kepada wartawan menjelang pertemuan tertutup dewan itu yang membahas Myanmar. Para anggota dewan itu mendengarkan penjelasan dari utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Retno hadir dalam kesempatan itu dalam posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN.

May Sabe Phyu, Direktur Jaringan Kesetaraan Gender, sebuah koalisi organisasi yang mempromosikan hak-hak perempuan di Myanmar, menuduh militer Myanmar melakukan “kampanye teror” dan melakukan “tindakan keji” yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia mengatakan Dewan Keamanan harus merujuk tindakan junta itu ke ICC untuk penuntutan.

Militer Myanmar telah lama dituduh melakukan pelanggaran HAM, terutama selama upaya penumpasan pemberontakan secara brutal pada 2017 terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat. ICC sedang mempertimbangkan apakah tindakan keras itu adalah genosida.

Pada 2021, militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih Myanmar, dan kemudian mengambil tindakan keras untuk menekan penentangan publik terhadap pengambilalihan kekuasaan tersebut. Beberapa ahli sekarang menganggap situasi di Myanmar sebagai perang saudara mengingat militer melakukan serangan besar-besaran terhadap perlawanan bersenjata yang meluas.

ASEAN mengadopsi konsensus lima langkah untuk memulihkan perdamaian pada April 2021 yang disetujui oleh Myanmar, tetapi belum diterapkan, yang menyebabkan Myanmar tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan tingkat tinggi ASEAN sejak saat itu.

Dewan Keamanan menyetujui resolusi pertamanya tentang Myanmar pada bulan Desember, menuntut segera diakhirinya kekerasan, mendesak penguasa militernya untuk membebaskan semua tahanan yang “ditahan secara sewenang-wenang” termasuk pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan memulihkan lembaga-lembaga demokrasi. Dewan itu juga menegaskan kembali seruan untuk dialog dan rekonsiliasi dan mendesak semua pihak “untuk menghormati HAM, kebebasan mendasar dan supremasi hukum.”

Para aktivis menyerukan pemberlakuan embargo senjata, pertemuan utusan khusus PBB kelompok-kelompok prodemokrasi, dan penuntutan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh militer.

Phyu, yang meninggalkan Myanmar setelah pengambilalihan dan sekarang berbasis di Amerika Serikat, meminta Dewan Keamanan untuk menekan negara-negara tetangga Myanmar agar tidak mendukung pemerintah militer, tetapi secara terbuka mendukung kekuatan demokrasi, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang katanya mendapat dukungan dari rakyat Myanmar.

Ia mengkritik utusan PBB Heyzer karena bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, tetapi tidak bertemu secara terbuka dengan kelompok prodemokrasi termasuk Pemerintah Persatuan Nasional, yang beroperasi secara rahasia  dan menyebut diri sebagai pemerintah sah negara itu.

Naw Hser Hser, Ketua Liga Perempuan Burma, mengatakan para pendukung demokrasi merasa dilupakan oleh komunitas internasional. [ab/uh]

 Aktivis Perempuan Desak DK PBB Rujuk Militer Myanmar ke ICC

Berbagai kisah dengan tokoh utama perempuan memenuhi daftar film yang mengincar Academy Award, atau penghargaan Oscar, pada hari Minggu mendatang. Ini mencerminkan kemajuan dalam industri yang telah lama menurunkan perempuan ke peran-peran sekunder di bawah bayang-bayang tokoh utama lelaki. Namun Hollywood dianggap masih tertinggal dalam hal kesetaraan gender.

Michelle Yeoh berjuang melewati jagat majemuk. Angela Basset memimpin negara yang berduka saat berperang, dan Cate Blanchett dengan licik memanipulasi para anggota orkestra kelas dunia. Film yang dibintangi Blanchett, “Tar”, masuk nominasi film terbaik.

Saingannya adalah film unggulan “Everything Everywhere All at Once”, film petualangan kung-fu yang dibintangi Yeoh sebagai protagonis yang bertugas menyelamatkan dunia. “Women Talking”, mengenai perempuan Mennonite yang bergulat menghadapi serangan seksual di komunitasnya, juga masuk nominasi film terbaik.

Dalam kategori aktris pendukung terbaik, Angela Basset dinominasikan berkat perannya sebagai Ratu Ramonda dalam “Black Panther: Wakanda Forever”, film superhero Marvel yang menampilkan pahlawan perempuan di garis depan.

Meski demikian, Hollywood ternyata masih jauh dari kesetaraan gender.

Sutradara dan penulis skenario “Women Talking”, Sarah Polley mengatakan, “Percakapan yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, jalan di tempat. Maksud saya, apakah dunia telah berubah sebanyak yang kita inginkan? Tentu saja tidak. Dalam banyak hal malah ada kemunduran.”

Pada tahun 2017, gerakan #MeToo mendorong perempuan untuk berbicara mengenai kurangnya porsi mereka di Hollywood dan menuntut kesetaraan. Data menunjukkan ada peningkatan.

Menurut temuan peneliti UCLA, perempuan menyumbang 47,2 persen peran utama dalam film dan teater terkemuka pada tahun 2021, naik dari 32,9 persen pada tahun 2017.

Tetapi di antara para sutradara, peran paling berpengaruh dalam pembuatan film, hanya 21,8 persen di antaranya perempuan, naik dari 12,6 persen pada tahun 2017. Hanya tiga perempuan yang pernah meraih Oscar sebagai sutradara terbaik dalam 94 tahun sejarah penghargaan ini.

Tahun ini tak seorang pun sutradara perempuan masuk nominasi, padahal ada Polley dan Gina Prince-Blythewood, sutradara “The Woman King”.

Jajaran eksekutif yang memberi persetujuan tentang produksi film dan menetapkan anggaran juga sangat condong pada lelaki, menurut data UCLA tahun 2020. Para peneliti mendapati 82 persen CEO studio film adalah lelaki, begitu pula 80 persentim manajemen bawah level CEO.

Untuk mendorong kesetaraan gender, para aktivis menciptakan stempel ReFrame, suatu sertifikasi yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa produser merekrut perempuan sedikitnya setengah dari pemeran kunci di layar dan di belakang kamera. Pada tahun 2022, 29 dari 100 film peraih penghasilan terbanyak di AS dan Kanada memenuhi kriteria itu.

“Ada semakin banyak perempuan di balik kamera yang membuat keputusan. Kita perlu lebih banyak itu. Jika Anda lihat statistik mengenai perempuan yang mengelola studio, ini tidak setara. Jadi ini adalah perjuangan untuk mendapatkan lebih banyak kursi di meja, meja kepemimpinan, untuk memastikan hal ini menjadi normanya,” kata aktris Lupita Nyong’o.

Sutradara “Tar” Todd Field mengatakan ia berharap Hollywood tidak lagi bersikap seperti pada masa lalu dalam hal gender. Satu dekade silam, katanya, ia diberitahu bahwa ia dapat memperoleh anggaran yang lebih besar untuk filmnya jika pemeran utamanya adalah lelaki.

Field mengatakan, “Ada tradisi besar mengenai tokoh perempuan yang kuat dan pemeran utama perempuan yang kuat dalam sejarah film, terutama pada tahun 1950-an. Mengapa ini berubah, saya tidak tahu pasti.”

Lebih banyak lagi film yang berpusat mengenai perempuan dijadwalkan diputar di bioskop-bioskop dalam beberapa bulan mendatang. Di antaranya The Marvels, film superhero dengan tiga pemeran utama perempuan; adaptasi novel “Are You There God? It’s Me, Margaret”, dan versi baru Barbie dari sutradara yang pernah meraih nominasi Oscar, Greta Gerwig.

Sementara itu, ketika ditanya mengenai keterwakilan perempuan secara umum, Michelle Yeoh mengatakan, “Kita perlu kesetaraan bagi perempuan juga. Kita perlu keterwakilan perempuan yang lebih banyak, dan terutama perempuan berusia lanjut.”

Kaum perempuan yang usianya lebih lanjut, khususnya, harus melawan pemikiran bahwa masa-masa keemasan mereka telah lewat, lanjut Yeoh. Aktris berusia 60 tahun itu mengatakan, “Kita harus mengubah semua omong kosong itu, dan saya di sini untuk melakukannya.” [uh/ab]

Berbagai kisah dengan tokoh utama perempuan memenuhi daftar film yang mengincar Academy Award, atau penghargaan Oscar, pada hari Minggu mendatang. Ini mencerminkan kemajuan dalam industri yang telah lama menurunkan perempuan ke peran-peran sekunder di bawah bayang-bayang tokoh utama lelaki. Namun Hollywood dianggap masih tertinggal dalam hal kesetaraan gender.

Michelle Yeoh berjuang melewati jagat majemuk. Angela Basset memimpin negara yang berduka saat berperang, dan Cate Blanchett dengan licik memanipulasi para anggota orkestra kelas dunia. Film yang dibintangi Blanchett, “Tar”, masuk nominasi film terbaik.

Saingannya adalah film unggulan “Everything Everywhere All at Once”, film petualangan kung-fu yang dibintangi Yeoh sebagai protagonis yang bertugas menyelamatkan dunia. “Women Talking”, mengenai perempuan Mennonite yang bergulat menghadapi serangan seksual di komunitasnya, juga masuk nominasi film terbaik.

Dalam kategori aktris pendukung terbaik, Angela Basset dinominasikan berkat perannya sebagai Ratu Ramonda dalam “Black Panther: Wakanda Forever”, film superhero Marvel yang menampilkan pahlawan perempuan di garis depan.

Meski demikian, Hollywood ternyata masih jauh dari kesetaraan gender.

Sutradara dan penulis skenario “Women Talking”, Sarah Polley mengatakan, “Percakapan yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, jalan di tempat. Maksud saya, apakah dunia telah berubah sebanyak yang kita inginkan? Tentu saja tidak. Dalam banyak hal malah ada kemunduran.”

Pada tahun 2017, gerakan #MeToo mendorong perempuan untuk berbicara mengenai kurangnya porsi mereka di Hollywood dan menuntut kesetaraan. Data menunjukkan ada peningkatan.

Menurut temuan peneliti UCLA, perempuan menyumbang 47,2 persen peran utama dalam film dan teater terkemuka pada tahun 2021, naik dari 32,9 persen pada tahun 2017.

Tetapi di antara para sutradara, peran paling berpengaruh dalam pembuatan film, hanya 21,8 persen di antaranya perempuan, naik dari 12,6 persen pada tahun 2017. Hanya tiga perempuan yang pernah meraih Oscar sebagai sutradara terbaik dalam 94 tahun sejarah penghargaan ini.

Tahun ini tak seorang pun sutradara perempuan masuk nominasi, padahal ada Polley dan Gina Prince-Blythewood, sutradara “The Woman King”.

Jajaran eksekutif yang memberi persetujuan tentang produksi film dan menetapkan anggaran juga sangat condong pada lelaki, menurut data UCLA tahun 2020. Para peneliti mendapati 82 persen CEO studio film adalah lelaki, begitu pula 80 persentim manajemen bawah level CEO.

Untuk mendorong kesetaraan gender, para aktivis menciptakan stempel ReFrame, suatu sertifikasi yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa produser merekrut perempuan sedikitnya setengah dari pemeran kunci di layar dan di belakang kamera. Pada tahun 2022, 29 dari 100 film peraih penghasilan terbanyak di AS dan Kanada memenuhi kriteria itu.

“Ada semakin banyak perempuan di balik kamera yang membuat keputusan. Kita perlu lebih banyak itu. Jika Anda lihat statistik mengenai perempuan yang mengelola studio, ini tidak setara. Jadi ini adalah perjuangan untuk mendapatkan lebih banyak kursi di meja, meja kepemimpinan, untuk memastikan hal ini menjadi normanya,” kata aktris Lupita Nyong’o.

Sutradara “Tar” Todd Field mengatakan ia berharap Hollywood tidak lagi bersikap seperti pada masa lalu dalam hal gender. Satu dekade silam, katanya, ia diberitahu bahwa ia dapat memperoleh anggaran yang lebih besar untuk filmnya jika pemeran utamanya adalah lelaki.

Field mengatakan, “Ada tradisi besar mengenai tokoh perempuan yang kuat dan pemeran utama perempuan yang kuat dalam sejarah film, terutama pada tahun 1950-an. Mengapa ini berubah, saya tidak tahu pasti.”

Lebih banyak lagi film yang berpusat mengenai perempuan dijadwalkan diputar di bioskop-bioskop dalam beberapa bulan mendatang. Di antaranya The Marvels, film superhero dengan tiga pemeran utama perempuan; adaptasi novel “Are You There God? It’s Me, Margaret”, dan versi baru Barbie dari sutradara yang pernah meraih nominasi Oscar, Greta Gerwig.

Sementara itu, ketika ditanya mengenai keterwakilan perempuan secara umum, Michelle Yeoh mengatakan, “Kita perlu kesetaraan bagi perempuan juga. Kita perlu keterwakilan perempuan yang lebih banyak, dan terutama perempuan berusia lanjut.”

Kaum perempuan yang usianya lebih lanjut, khususnya, harus melawan pemikiran bahwa masa-masa keemasan mereka telah lewat, lanjut Yeoh. Aktris berusia 60 tahun itu mengatakan, “Kita harus mengubah semua omong kosong itu, dan saya di sini untuk melakukannya.” [uh/ab]Kisah Perempuan Menonjol dalam Persaingan Oscar, Tapi Hollywood Masih Tertinggal dalam Kesetaraan Gender

Berbagai kisah dengan tokoh utama perempuan memenuhi daftar film yang mengincar Academy Award, atau penghargaan Oscar, pada hari Minggu mendatang. Ini mencerminkan kemajuan dalam industri yang telah lama menurunkan perempuan ke peran-peran sekunder di bawah bayang-bayang tokoh utama lelaki. Namun Hollywood dianggap masih tertinggal dalam hal kesetaraan gender.

Michelle Yeoh berjuang melewati jagat majemuk. Angela Basset memimpin negara yang berduka saat berperang, dan Cate Blanchett dengan licik memanipulasi para anggota orkestra kelas dunia. Film yang dibintangi Blanchett, “Tar”, masuk nominasi film terbaik.

Saingannya adalah film unggulan “Everything Everywhere All at Once”, film petualangan kung-fu yang dibintangi Yeoh sebagai protagonis yang bertugas menyelamatkan dunia. “Women Talking”, mengenai perempuan Mennonite yang bergulat menghadapi serangan seksual di komunitasnya, juga masuk nominasi film terbaik.

Dalam kategori aktris pendukung terbaik, Angela Basset dinominasikan berkat perannya sebagai Ratu Ramonda dalam “Black Panther: Wakanda Forever”, film superhero Marvel yang menampilkan pahlawan perempuan di garis depan.

Meski demikian, Hollywood ternyata masih jauh dari kesetaraan gender.

Sutradara dan penulis skenario “Women Talking”, Sarah Polley mengatakan, “Percakapan yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, jalan di tempat. Maksud saya, apakah dunia telah berubah sebanyak yang kita inginkan? Tentu saja tidak. Dalam banyak hal malah ada kemunduran.”

Pada tahun 2017, gerakan #MeToo mendorong perempuan untuk berbicara mengenai kurangnya porsi mereka di Hollywood dan menuntut kesetaraan. Data menunjukkan ada peningkatan.

Menurut temuan peneliti UCLA, perempuan menyumbang 47,2 persen peran utama dalam film dan teater terkemuka pada tahun 2021, naik dari 32,9 persen pada tahun 2017.

Tetapi di antara para sutradara, peran paling berpengaruh dalam pembuatan film, hanya 21,8 persen di antaranya perempuan, naik dari 12,6 persen pada tahun 2017. Hanya tiga perempuan yang pernah meraih Oscar sebagai sutradara terbaik dalam 94 tahun sejarah penghargaan ini.

Tahun ini tak seorang pun sutradara perempuan masuk nominasi, padahal ada Polley dan Gina Prince-Blythewood, sutradara “The Woman King”.

Jajaran eksekutif yang memberi persetujuan tentang produksi film dan menetapkan anggaran juga sangat condong pada lelaki, menurut data UCLA tahun 2020. Para peneliti mendapati 82 persen CEO studio film adalah lelaki, begitu pula 80 persentim manajemen bawah level CEO.

Untuk mendorong kesetaraan gender, para aktivis menciptakan stempel ReFrame, suatu sertifikasi yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa produser merekrut perempuan sedikitnya setengah dari pemeran kunci di layar dan di belakang kamera. Pada tahun 2022, 29 dari 100 film peraih penghasilan terbanyak di AS dan Kanada memenuhi kriteria itu.

“Ada semakin banyak perempuan di balik kamera yang membuat keputusan. Kita perlu lebih banyak itu. Jika Anda lihat statistik mengenai perempuan yang mengelola studio, ini tidak setara. Jadi ini adalah perjuangan untuk mendapatkan lebih banyak kursi di meja, meja kepemimpinan, untuk memastikan hal ini menjadi normanya,” kata aktris Lupita Nyong’o.

Sutradara “Tar” Todd Field mengatakan ia berharap Hollywood tidak lagi bersikap seperti pada masa lalu dalam hal gender. Satu dekade silam, katanya, ia diberitahu bahwa ia dapat memperoleh anggaran yang lebih besar untuk filmnya jika pemeran utamanya adalah lelaki.

Field mengatakan, “Ada tradisi besar mengenai tokoh perempuan yang kuat dan pemeran utama perempuan yang kuat dalam sejarah film, terutama pada tahun 1950-an. Mengapa ini berubah, saya tidak tahu pasti.”

Lebih banyak lagi film yang berpusat mengenai perempuan dijadwalkan diputar di bioskop-bioskop dalam beberapa bulan mendatang. Di antaranya The Marvels, film superhero dengan tiga pemeran utama perempuan; adaptasi novel “Are You There God? It’s Me, Margaret”, dan versi baru Barbie dari sutradara yang pernah meraih nominasi Oscar, Greta Gerwig.

Sementara itu, ketika ditanya mengenai keterwakilan perempuan secara umum, Michelle Yeoh mengatakan, “Kita perlu kesetaraan bagi perempuan juga. Kita perlu keterwakilan perempuan yang lebih banyak, dan terutama perempuan berusia lanjut.”

Kaum perempuan yang usianya lebih lanjut, khususnya, harus melawan pemikiran bahwa masa-masa keemasan mereka telah lewat, lanjut Yeoh. Aktris berusia 60 tahun itu mengatakan, “Kita harus mengubah semua omong kosong itu, dan saya di sini untuk melakukannya.” [uh/ab]

Berbagai kisah dengan tokoh utama perempuan memenuhi daftar film yang mengincar Academy Award, atau penghargaan Oscar, pada hari Minggu mendatang. Ini mencerminkan kemajuan dalam industri yang telah lama menurunkan perempuan ke peran-peran sekunder di bawah bayang-bayang tokoh utama lelaki. Namun Hollywood dianggap masih tertinggal dalam hal kesetaraan gender.

Michelle Yeoh berjuang melewati jagat majemuk. Angela Basset memimpin negara yang berduka saat berperang, dan Cate Blanchett dengan licik memanipulasi para anggota orkestra kelas dunia. Film yang dibintangi Blanchett, “Tar”, masuk nominasi film terbaik.

Saingannya adalah film unggulan “Everything Everywhere All at Once”, film petualangan kung-fu yang dibintangi Yeoh sebagai protagonis yang bertugas menyelamatkan dunia. “Women Talking”, mengenai perempuan Mennonite yang bergulat menghadapi serangan seksual di komunitasnya, juga masuk nominasi film terbaik.

Dalam kategori aktris pendukung terbaik, Angela Basset dinominasikan berkat perannya sebagai Ratu Ramonda dalam “Black Panther: Wakanda Forever”, film superhero Marvel yang menampilkan pahlawan perempuan di garis depan.

Meski demikian, Hollywood ternyata masih jauh dari kesetaraan gender.

Sutradara dan penulis skenario “Women Talking”, Sarah Polley mengatakan, “Percakapan yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, jalan di tempat. Maksud saya, apakah dunia telah berubah sebanyak yang kita inginkan? Tentu saja tidak. Dalam banyak hal malah ada kemunduran.”

Pada tahun 2017, gerakan #MeToo mendorong perempuan untuk berbicara mengenai kurangnya porsi mereka di Hollywood dan menuntut kesetaraan. Data menunjukkan ada peningkatan.

Menurut temuan peneliti UCLA, perempuan menyumbang 47,2 persen peran utama dalam film dan teater terkemuka pada tahun 2021, naik dari 32,9 persen pada tahun 2017.

Tetapi di antara para sutradara, peran paling berpengaruh dalam pembuatan film, hanya 21,8 persen di antaranya perempuan, naik dari 12,6 persen pada tahun 2017. Hanya tiga perempuan yang pernah meraih Oscar sebagai sutradara terbaik dalam 94 tahun sejarah penghargaan ini.

Tahun ini tak seorang pun sutradara perempuan masuk nominasi, padahal ada Polley dan Gina Prince-Blythewood, sutradara “The Woman King”.

Jajaran eksekutif yang memberi persetujuan tentang produksi film dan menetapkan anggaran juga sangat condong pada lelaki, menurut data UCLA tahun 2020. Para peneliti mendapati 82 persen CEO studio film adalah lelaki, begitu pula 80 persentim manajemen bawah level CEO.

Untuk mendorong kesetaraan gender, para aktivis menciptakan stempel ReFrame, suatu sertifikasi yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa produser merekrut perempuan sedikitnya setengah dari pemeran kunci di layar dan di belakang kamera. Pada tahun 2022, 29 dari 100 film peraih penghasilan terbanyak di AS dan Kanada memenuhi kriteria itu.

“Ada semakin banyak perempuan di balik kamera yang membuat keputusan. Kita perlu lebih banyak itu. Jika Anda lihat statistik mengenai perempuan yang mengelola studio, ini tidak setara. Jadi ini adalah perjuangan untuk mendapatkan lebih banyak kursi di meja, meja kepemimpinan, untuk memastikan hal ini menjadi normanya,” kata aktris Lupita Nyong’o.

Sutradara “Tar” Todd Field mengatakan ia berharap Hollywood tidak lagi bersikap seperti pada masa lalu dalam hal gender. Satu dekade silam, katanya, ia diberitahu bahwa ia dapat memperoleh anggaran yang lebih besar untuk filmnya jika pemeran utamanya adalah lelaki.

Field mengatakan, “Ada tradisi besar mengenai tokoh perempuan yang kuat dan pemeran utama perempuan yang kuat dalam sejarah film, terutama pada tahun 1950-an. Mengapa ini berubah, saya tidak tahu pasti.”

Lebih banyak lagi film yang berpusat mengenai perempuan dijadwalkan diputar di bioskop-bioskop dalam beberapa bulan mendatang. Di antaranya The Marvels, film superhero dengan tiga pemeran utama perempuan; adaptasi novel “Are You There God? It’s Me, Margaret”, dan versi baru Barbie dari sutradara yang pernah meraih nominasi Oscar, Greta Gerwig.

Sementara itu, ketika ditanya mengenai keterwakilan perempuan secara umum, Michelle Yeoh mengatakan, “Kita perlu kesetaraan bagi perempuan juga. Kita perlu keterwakilan perempuan yang lebih banyak, dan terutama perempuan berusia lanjut.”

Kaum perempuan yang usianya lebih lanjut, khususnya, harus melawan pemikiran bahwa masa-masa keemasan mereka telah lewat, lanjut Yeoh. Aktris berusia 60 tahun itu mengatakan, “Kita harus mengubah semua omong kosong itu, dan saya di sini untuk melakukannya.” [uh/ab]Kisah Perempuan Menonjol dalam Persaingan Oscar, Tapi Hollywood Masih Tertinggal dalam Kesetaraan Gender

Oscar de la Renta, Calvin Klein, Alexandra Alonso Rojas dan banyak lagi desainer lainnya memproduksi koleksi mereka dengan produk rajutan tangan karya perempuan Ukraina. Terlepas dari invasi Rusia di Ukraina selama setahun ini, kaum perempuan Ukraina terus berkarya. 

Oscar de la Renta, Calvin Klein, Alexandra Alonso Rojas dan banyak lagi desainer lainnya memproduksi koleksi mereka dengan produk rajutan tangan karya perempuan Ukraina. Terlepas dari invasi Rusia di Ukraina selama setahun ini, kaum perempuan Ukraina terus berkarya. Perempuan-Perempuan Ukraina Merajut untuk Merek Desainer Terkemuka

Otoritas de facto Taliban telah mengumumkan pembukaan kembali universitas negeri di ibu kota Afghanistan, Kabul, dan di beberapa kota lainnya. Tetapi, hanya siswa laki-laki yang diizinkan masuk.

“Menurut keputusan Dewan Tertinggi untuk Pendidikan Tinggi,” menurut pernyataan singkat dari Kementerian Pendidikan Tinggi Taliban, “siswa laki-laki di lembaga pendidikan tinggi pemerintah di provinsi-provinsi yang lebih dingin secara resmi akan dimulai dari 6 Maret tahun ini.”

Sekolah dan universitas tutup untuk libur musim dingin setiap tahun di sekitar 24 dari 34 provinsi di Afghanistan.

Taliban melarang pendidikan tinggi untuk perempuan pada tahun lalu. Alasan mereka, kelas untuk perempuan tidak dipisah, sesuai aturan agama, di bawah pemerintah sebelumnya yang didukung oleh Amerika Serikat.

Sejak merebut kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban juga menutup sekolah menengah untuk perempuan, dan menyatakan penutupan bersifat sementara.

“Taliban kehabisan waktu dalam membuat keputusan untuk membuka kembali sekolah menengah untuk murid perempuan, dan universitas,” kata Orzala Nemat, aktivis Afghanistan dan peneliti di Program Studi Asia dan Afrika di Universitas London. “Ini adalah tuntutan yang diajukan publik, para tetua wilayah, ahli agama dan bahkan sebagian anggota (Taliban) sendiri merasa malu untuk mendukung keputusan yang tidak adil dan tidak Islamis ini.”

Afghanistan adalah satu-satunya negara di mana perempuan dan anak perempuan secara resmi tidak boleh bersekolah dan bekerja, menurut organisasi hak asasi manusia. [ka/jm/rs]

Otoritas de facto Taliban telah mengumumkan pembukaan kembali universitas negeri di ibu kota Afghanistan, Kabul, dan di beberapa kota lainnya. Tetapi, hanya siswa laki-laki yang diizinkan masuk.

“Menurut keputusan Dewan Tertinggi untuk Pendidikan Tinggi,” menurut pernyataan singkat dari Kementerian Pendidikan Tinggi Taliban, “siswa laki-laki di lembaga pendidikan tinggi pemerintah di provinsi-provinsi yang lebih dingin secara resmi akan dimulai dari 6 Maret tahun ini.”

Sekolah dan universitas tutup untuk libur musim dingin setiap tahun di sekitar 24 dari 34 provinsi di Afghanistan.

Taliban melarang pendidikan tinggi untuk perempuan pada tahun lalu. Alasan mereka, kelas untuk perempuan tidak dipisah, sesuai aturan agama, di bawah pemerintah sebelumnya yang didukung oleh Amerika Serikat.

Sejak merebut kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban juga menutup sekolah menengah untuk perempuan, dan menyatakan penutupan bersifat sementara.

“Taliban kehabisan waktu dalam membuat keputusan untuk membuka kembali sekolah menengah untuk murid perempuan, dan universitas,” kata Orzala Nemat, aktivis Afghanistan dan peneliti di Program Studi Asia dan Afrika di Universitas London. “Ini adalah tuntutan yang diajukan publik, para tetua wilayah, ahli agama dan bahkan sebagian anggota (Taliban) sendiri merasa malu untuk mendukung keputusan yang tidak adil dan tidak Islamis ini.”

Afghanistan adalah satu-satunya negara di mana perempuan dan anak perempuan secara resmi tidak boleh bersekolah dan bekerja, menurut organisasi hak asasi manusia. [ka/jm/rs]Taliban Buka Kembali Universitas, tetapi Hanya untuk Siswa Laki-laki

Hingga kini “altinha” atau sepak bola pantai khas Brazil adalah olahraga yang didominasi kaum lelaki. Namun seperti halnya sepak bola pada umumnya, permainan yang satu ini semakin populer di kalangan perempuan seiring lahirnya klub-klub yang secara khusus mengasah keterampilan mereka.

“Altinha” telah puluhan tahun menjadi tontonan khas di pantai Ipanema yang terkenal di Rio de Janeiro, Brazil.

Namun ada perubahan nyata, dalam dua tahun terakhir, terutama sejak orang-orang kembali ke pantai yang tadinya ditutup akibat pandemi.

Perempuan kini sering terlihat bergabung dalam permainan yang dahulunya didominasi lelaki itu.

“Altinha” pada intinya adalah permainan yang mempertahankan bola tetap di udara, dan Anda dapat menggunakan bagian tubuh mana pun untuk mengupayakannya, kecuali tangan.

Pemain berdiri dalam lingkaran dan saling melempar bola. Ketika mereka tidak bisa membuatnya melambung dengan kaki atau kepala mereka, mereka bisa menggunakan bahu, lutut, atau punggung.

Tidak seperti dua atau tiga tahun lalu, kini banyak klub altinha yang banyak menerima anggota perempuan. Seorang pelatih setempat bahkan berani mengatakan, perempuan mencapai sekitar 60 persen dari total anggota klub-klub itu. Di Rio De Janeiro sendiri tercatat ada sekitar 20 klub altinha.

Gabriela Ferreira, seorang mahasiswa, termasuk di antara banyak perempuan yang bergabung. “Banyak teman saya yang ingin belajar untuk bisa bermain ketika datang ke pantai atau bahkan ikut klub yang ada pelatihnya. Ini menjadi hal yang lumrah,” jelasnya.

Di bagian lain pantai Copacabana, di pantai Leme, ada klub “altinha” khusus perempuan. Bernama Empoderalta, klub tersebut didirikan oleh Lorena Bichucher, guru pendidikan jasmani, tahun 2021.

“Fakta bahwa tidak ada pria di sini, ternyata positif. Para anggotanya menjadi lebih produktif. Perempuan merasa lebih nyaman untuk menjadi diri mereka sendiri, menghadapi tantangan, membuat kesalahan, dan mencoba lagi,” jelasnya.

Para anggotanya menggambarkan klub itu sebagai kelompok pendukung di mana orang dapat saling membantu selain bermain bersama.

Sebuah klub lain di pantai Copacabana mengambil pendekatan berbeda. Bernama Russo Falcão, klub ini sengaja membaurkan anggota putri dengan anggota putranya. Klub ini diberi nama sesuai nama pendiri sekaligus pelatih utamanya, Russo Falcão.

“Mayoritas anggota kami adalah perempuan di sini. Ada permintaan besar untuk kelas-kelas ini untuk mengembangkan teknik dan kepercayaan agar bisa bermain. Pertumbuhan minat perempuan dalam olahraga ini sangat mencengangkan,” jelasnya.

Larissa Biolchini, seorang ahli jantung di unit gawat darurat sebuah rumah sakit, mengatakan bahwa olahraga ini adalah cara sempurna untuk melepaskan tekanan pekerjaan dan stres. Ia bermain “altinha” tiga kali seminggu di Copacabana.

“Saya memiliki pekerjaan yang sangat menegangkan, secara fisik dan mental sangat berat. Bagi saya, berada di sini, berinteraksi, berteman, berkolaborasi, dan berolahraga di bawah terik matahari, sangat bermanfaat.” [ab/uh]

Hingga kini “altinha” atau sepak bola pantai khas Brazil adalah olahraga yang didominasi kaum lelaki. Namun seperti halnya sepak bola pada umumnya, permainan yang satu ini semakin populer di kalangan perempuan seiring lahirnya klub-klub yang secara khusus mengasah keterampilan mereka.

“Altinha” telah puluhan tahun menjadi tontonan khas di pantai Ipanema yang terkenal di Rio de Janeiro, Brazil.

Namun ada perubahan nyata, dalam dua tahun terakhir, terutama sejak orang-orang kembali ke pantai yang tadinya ditutup akibat pandemi.

Perempuan kini sering terlihat bergabung dalam permainan yang dahulunya didominasi lelaki itu.

“Altinha” pada intinya adalah permainan yang mempertahankan bola tetap di udara, dan Anda dapat menggunakan bagian tubuh mana pun untuk mengupayakannya, kecuali tangan.

Pemain berdiri dalam lingkaran dan saling melempar bola. Ketika mereka tidak bisa membuatnya melambung dengan kaki atau kepala mereka, mereka bisa menggunakan bahu, lutut, atau punggung.

Tidak seperti dua atau tiga tahun lalu, kini banyak klub altinha yang banyak menerima anggota perempuan. Seorang pelatih setempat bahkan berani mengatakan, perempuan mencapai sekitar 60 persen dari total anggota klub-klub itu. Di Rio De Janeiro sendiri tercatat ada sekitar 20 klub altinha.

Gabriela Ferreira, seorang mahasiswa, termasuk di antara banyak perempuan yang bergabung. “Banyak teman saya yang ingin belajar untuk bisa bermain ketika datang ke pantai atau bahkan ikut klub yang ada pelatihnya. Ini menjadi hal yang lumrah,” jelasnya.

Di bagian lain pantai Copacabana, di pantai Leme, ada klub “altinha” khusus perempuan. Bernama Empoderalta, klub tersebut didirikan oleh Lorena Bichucher, guru pendidikan jasmani, tahun 2021.

“Fakta bahwa tidak ada pria di sini, ternyata positif. Para anggotanya menjadi lebih produktif. Perempuan merasa lebih nyaman untuk menjadi diri mereka sendiri, menghadapi tantangan, membuat kesalahan, dan mencoba lagi,” jelasnya.

Para anggotanya menggambarkan klub itu sebagai kelompok pendukung di mana orang dapat saling membantu selain bermain bersama.

Sebuah klub lain di pantai Copacabana mengambil pendekatan berbeda. Bernama Russo Falcão, klub ini sengaja membaurkan anggota putri dengan anggota putranya. Klub ini diberi nama sesuai nama pendiri sekaligus pelatih utamanya, Russo Falcão.

“Mayoritas anggota kami adalah perempuan di sini. Ada permintaan besar untuk kelas-kelas ini untuk mengembangkan teknik dan kepercayaan agar bisa bermain. Pertumbuhan minat perempuan dalam olahraga ini sangat mencengangkan,” jelasnya.

Larissa Biolchini, seorang ahli jantung di unit gawat darurat sebuah rumah sakit, mengatakan bahwa olahraga ini adalah cara sempurna untuk melepaskan tekanan pekerjaan dan stres. Ia bermain “altinha” tiga kali seminggu di Copacabana.

“Saya memiliki pekerjaan yang sangat menegangkan, secara fisik dan mental sangat berat. Bagi saya, berada di sini, berinteraksi, berteman, berkolaborasi, dan berolahraga di bawah terik matahari, sangat bermanfaat.” [ab/uh]Sepak Bola Pantai Khas Brazil Semakin Digemari Perempuan

Menjelang Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada hari Rabu, 8 Maret 2023, Sekjen PBB mengeluarkan peringatan buruk bahwa kesetaraan gender baru akan terwujud 300 tahun lagi apabila kondisi saat ini terus berlanjut.

Menjelang Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada hari Rabu, 8 Maret 2023, Sekjen PBB mengeluarkan peringatan buruk bahwa kesetaraan gender baru akan terwujud 300 tahun lagi apabila kondisi saat ini terus berlanjut.Sekjen PBB Peringatkan Butuh 300 Tahun Lagi untuk Capai Kesetaraan Gender

Rabu, 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Tema peringatan tahun ini berfokus pada kebutuhan bagi kesetaraan gender.

Peringatan tahunan, yang dimulai sejak 1911 dan bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, adalah hari bagi orang di mana pun untuk merayakan pencapaian perempuan di tengah masyarakat.

PBB menetapkan fokus program Hari Perempuan Internasionalnya pada pentingnya melindungi hak-hak perempuan dewasa dan anak-anak di ruang digital dan berupaya mengatasi kesenjangan dalam akses ke teknologi vital.

PBB mengatakan dibandingkan dengan lelaki di seluruh dunia, jumlah perempuan yang memiliki akses ke internet 259 juta orang lebih sedikit. Tanpa akses dan kemampuan untuk merasa aman daring, “mereka tidak mampu mengembangkan keterampilan digital yang diperlukan untuk terlibat di dalam ruang digital.”

Di Washington, upacara penganugerahan penghargaan International Women of Courage berlangsung di Gedung Putih untuk pertama kalinya. Penghargaan itu, yang telah diberikan kepada 180 perempuan dari 80 negara sejak 2007, “mengakui perempuan-perempuan dari seluruh dunia yang telah menunjukkan keberanian, kekuatan, dan kepemimpinan yang luar biasa dalam mengadvokasi perdamaian, keadilan, hak asasi, ekuitas dan kesetaraan gender, kerap kali dengan risiko dan pengorbanan pribadi yang besar,” menurut Departemen Luar Negeri AS.

Kegiatan tahun ini akan menampilkan 12 penerima penghargaan, termasuk penghargaan untuk perempuan dewasa dan remaja di Iran yang telah memimpin protes sejak kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi pada September lalu. [uh/ab]

Rabu, 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Tema peringatan tahun ini berfokus pada kebutuhan bagi kesetaraan gender.

Peringatan tahunan, yang dimulai sejak 1911 dan bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, adalah hari bagi orang di mana pun untuk merayakan pencapaian perempuan di tengah masyarakat.

PBB menetapkan fokus program Hari Perempuan Internasionalnya pada pentingnya melindungi hak-hak perempuan dewasa dan anak-anak di ruang digital dan berupaya mengatasi kesenjangan dalam akses ke teknologi vital.

PBB mengatakan dibandingkan dengan lelaki di seluruh dunia, jumlah perempuan yang memiliki akses ke internet 259 juta orang lebih sedikit. Tanpa akses dan kemampuan untuk merasa aman daring, “mereka tidak mampu mengembangkan keterampilan digital yang diperlukan untuk terlibat di dalam ruang digital.”

Di Washington, upacara penganugerahan penghargaan International Women of Courage berlangsung di Gedung Putih untuk pertama kalinya. Penghargaan itu, yang telah diberikan kepada 180 perempuan dari 80 negara sejak 2007, “mengakui perempuan-perempuan dari seluruh dunia yang telah menunjukkan keberanian, kekuatan, dan kepemimpinan yang luar biasa dalam mengadvokasi perdamaian, keadilan, hak asasi, ekuitas dan kesetaraan gender, kerap kali dengan risiko dan pengorbanan pribadi yang besar,” menurut Departemen Luar Negeri AS.

Kegiatan tahun ini akan menampilkan 12 penerima penghargaan, termasuk penghargaan untuk perempuan dewasa dan remaja di Iran yang telah memimpin protes sejak kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi pada September lalu. [uh/ab]Kesetaraan Gender Jadi Fokus Peringatan Hari Perempuan Internasional

Uni Eropa, pada Selasa (7/3), memberlakukan sanksi terhadap sembilan orang, termasuk dua anggota senior pemerintah Taliban, perwira militer dan polisi Rusia, serta fasilitas penjara Iran, menuduh mereka semua terkait dengan pelanggaran hak dan pelecehan seksual terhadap perempuan.

“Kita meningkatkan upaya untuk melawan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, untuk memastikan bahwa mereka yang melakukannya, bertanggung jawab penuh atas tindakannya, dan untuk memerangi praktik kekebalan dari hukuman” kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell. Pengumuman itu disampaikan pada malam peringatan Hari Perempuan Internasional.

Langkah Uni Eropa akan membekukan aset dan memberlakukan larangan melakukan perjalanan terhadap sembilan orang tersebut, dan pembekuan aset di Penjara Qarchak – salah satu fasilitas penahanan rezim Iran untuk perempuan – serta Pengawal Republik Suriah dan lembaga militer Myanmar.

Termasuk di antara yang menjadi sasaran adalah dua penjabat menteri pemerintah Taliban yang dituduh mengeluarkan keputusan yang membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan. Taliban telah memberlakukan tindakan keras sejak mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada Agustus 2021. Mereka telah melarang perempuan dari kehidupan publik dan menutup akses pendidikan untuk anak perempuan di atas kelas enam.

Uni Eropa juga menyasar kepala Kantor Polisi Moskow, Letnan Kolonel Alexander Georgievich Fedorinov, dan salah seorang anak buahnya. Komandan tersebut dituduh mengizinkan “penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan lebih jauh terhadap perempuan pengunjuk rasa anti-perang.”

Sanksi juga dijatuhkan kepada dua komandan militer Rusia yang pasukannya dituduh melakukan pemerkosaan dan kekerasan seksual di Ukraina.

Uni Eropa menyasar penjara Qarchak di provinsi Teheran di saat gelombang protes yang berlangsung selama berbulan-bulan terus terus berlanjut di Iran. Gelombang protes tersebut dipicu atas kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi moral Iran pada bulan September lalu. Protes-protes tersebut merupakan salah satu tantangan paling serius bagi teokrasi Iran sejak Revolusi Islam 1979.

Blok beranggotakan 27 negara tersebut mengatakan bahwa perempuan yang ditahan di penjara Qarchak “menjadi sasaran penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Mereka ditahan di sel yang penuh sesak, tanpa akses ke air minum bersih, makanan dan bantuan medis, yang merupakan tindakan kejam, perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.” [my/rs]

Uni Eropa, pada Selasa (7/3), memberlakukan sanksi terhadap sembilan orang, termasuk dua anggota senior pemerintah Taliban, perwira militer dan polisi Rusia, serta fasilitas penjara Iran, menuduh mereka semua terkait dengan pelanggaran hak dan pelecehan seksual terhadap perempuan.

“Kita meningkatkan upaya untuk melawan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, untuk memastikan bahwa mereka yang melakukannya, bertanggung jawab penuh atas tindakannya, dan untuk memerangi praktik kekebalan dari hukuman” kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell. Pengumuman itu disampaikan pada malam peringatan Hari Perempuan Internasional.

Langkah Uni Eropa akan membekukan aset dan memberlakukan larangan melakukan perjalanan terhadap sembilan orang tersebut, dan pembekuan aset di Penjara Qarchak – salah satu fasilitas penahanan rezim Iran untuk perempuan – serta Pengawal Republik Suriah dan lembaga militer Myanmar.

Termasuk di antara yang menjadi sasaran adalah dua penjabat menteri pemerintah Taliban yang dituduh mengeluarkan keputusan yang membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan. Taliban telah memberlakukan tindakan keras sejak mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada Agustus 2021. Mereka telah melarang perempuan dari kehidupan publik dan menutup akses pendidikan untuk anak perempuan di atas kelas enam.

Uni Eropa juga menyasar kepala Kantor Polisi Moskow, Letnan Kolonel Alexander Georgievich Fedorinov, dan salah seorang anak buahnya. Komandan tersebut dituduh mengizinkan “penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan lebih jauh terhadap perempuan pengunjuk rasa anti-perang.”

Sanksi juga dijatuhkan kepada dua komandan militer Rusia yang pasukannya dituduh melakukan pemerkosaan dan kekerasan seksual di Ukraina.

Uni Eropa menyasar penjara Qarchak di provinsi Teheran di saat gelombang protes yang berlangsung selama berbulan-bulan terus terus berlanjut di Iran. Gelombang protes tersebut dipicu atas kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi moral Iran pada bulan September lalu. Protes-protes tersebut merupakan salah satu tantangan paling serius bagi teokrasi Iran sejak Revolusi Islam 1979.

Blok beranggotakan 27 negara tersebut mengatakan bahwa perempuan yang ditahan di penjara Qarchak “menjadi sasaran penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Mereka ditahan di sel yang penuh sesak, tanpa akses ke air minum bersih, makanan dan bantuan medis, yang merupakan tindakan kejam, perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.” [my/rs]Uni Eropa Kenakan Sanksi Terhadap Taliban, Pejabat Rusia, dan Iran Terkait Pelanggaran Hak-hak Perempuan